Kumpulan makalah
PENDAHULUAN
Latar belakang
Dalam ilmu tauhid memiliki hal-hal yang bersangkutan seperti rukun iman, rukun ini disepakati oleh para ulama sebagai ketentuan yang harus diyakini setiap muslim, rukun iman sendiri dibagi menjadi enam yaitu: iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab Allah,Nabi-nabi Allah, hari kiamat ,dan qodho-qodar Allah.
Iman kepada Allah adalah hal penting yang harus ditancapkan dalam hati seorang muslim tanpa ada paksaan dari pihak manapun, pada umumnya iman di pahami sebagai keyakinan seseorang terhadap sebuah agama ang dibawa oleh utusan Allah SWT.
Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan hal yang terkait dengan iman kepada Allah SWT dan implikasinya dalam kehidupan.
Rumusan masalah
Apa pengertian iman kepada Allah SWT ?
Bagaimana ruang lingkup beriman kepada Allah SWT ?
Bagaimana implikasinya dalam kehidupan dan cara meningkatkan iman kepada Allah SWT ?
Tujuan
Untuk mengetahui pengertian iman kepada Allah SWT ?
Untuk mengetahui ruang lingkup beriman kepada Allah SWT ?
Untuk mengetahui implikasinya dalam kehidupan dan cara meningkatkan iman kepada Allah SWT ?
PEMBAHASAN
1. Pengertian Iman
Kata Iman berasal dari bahasa arab yaitu “امن “ yang artinya aman,damai,tentram.Dalam pengertian lain adalah : Keyakinan atau kepercayaan.
Iman kepada Allah berarti kita wajib mempercayai ke-Esaan dzat, sifat dan af’al-Nya. artinya hanya Allah yang patut dan berhak disembah karena yang menciptakan alam ini. Dialah yang bersifat dengan segala kesempurnaan-Nya, berbeda jauh dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk. Segala apa yang diciptakan Allah, diciptakan-Nya dengan sendiri-Nya, tidak dengan bantuan siapapun. Demikian pula hasil ciptaan Allah itu tak seorang pun dapat meniru dan menyamai-Nya. Segala ciptaan atau buatan Allah itu mengandung hikmah dan faedah.
Keimanan itu bukanlah semata-mata diucapkan lisan saja atau keyakinan dalam hati semata, tetapi keimanan yang sesungguhnya adalah suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh hati nurani , dari situlah muncul atsar atau bekas dari keimanan tersebut dan direalisasikan dengan perbuatan yang baik.
Iman juga bukan sekedar amal perbuatan yang secara dhohir merupakan ciri khas perbuatan orang-orang beriman. Sebab orang munafik juga mengerjakan ibadah dan berbuat baik walaupun ditujukan bukan untuk menginginkan keridhoan Allah SWT
2. Ruang lingkup beriman kepada Alloh SWT
Beriman kepada Alloh SWT mengandung empat perkara:
Beriman kepada adanya Alloh SWT
Alloh SWT adalah wajibul wujud dan tak ada batasan bagi kesempurnaan-Nya. Karenanya tidaklah sanggup manusia mengetahui dzat-Nya. Mengetahui hakikat Dzat-Nya adalah mustahil, karena dzat Alloh SWT tidak tersusun dari beberapa unsur dan Allah tidak memiliki batasan berbeda dengan makhlukNya yang disudah ditakdirkan memiliki batasan.
Oleh karena mengetahui hakikat Allah, mengetahui hakikat dzat-Nya adalah suatu hal yang tidak mungkin (mustahil) dicapai akal manusia maka menjadi percumalah membahas yang demikian itu karena usaha itu merupakan usaha yang sia-sia. Oleh karena itu Islam agama yang mempunyai aqidah yang benar dan amal yang membuahkan hasil, melarang kita memikirkan dzat Allah atau bagaimana dzatnya. Nabi saw. bersabda,
” تَفَكَّرُوا فِي خَلْقِ اللَّهِ ، وَلا تَفَكَّرُوا فِي اللَّهِ“ (رواه أبو نعيم عن ابن عباس)
“Fikirkanlah tentang keadaan makhluk Allah dan janganlah kamu memikirkan tentang Dzat-Nya yang menyebabkan kamu binasa”
Sama dengan memikir-mikirkan Dzat Allah, memikirkan urusan-urusan yang berpautan dengan sifat-sifat-Nya. Kita cukup dalam mengetahuinya, meyakini bahwa Allah bersifat dengan sifat-sifatNya itu dan bahwa sifat Allah adalah sifat yang paling sempurna, sesuai dengan martabat Allah dalam wujud ini. Yang selain daripada itu kita serahkan kepada pengetahuan Allah sendiri.
Al-Quran datang mengarahkan pikiran kita untuk memperhatikan alam atau memperhatikan apa yang Allah ciptakan agar tembuslah ilmu kita kepada mema’rifati penciptanya. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang mengharuskan kita memperhatikan keadaan wujud, khasiatnya, sifatnya, tata aturannya, yang kesemuanya itu menunjukkan adanya pencipta yang sangat hakim (melaksanakan sesuatu dan membuat sesuatu). Tak ada beserta-Nya sesuatu wujud pencipta yang semartabat dengan-Nya. Kalau ada tentulah masing-masingnya mengetahui makhluk dan tentulah yang seorang mengalahkan yang lain dan rusaklah nidham alam ini.
Beriman kepada Rubbubiyahnya Allah SWT.
Beriman kepada rubbubiyahnya Allah SWT. berarti mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya bahwa Allah sendiri yang menciptakan, memiliki, memerintah, dan mengatur alam semesta dari sebelum ada hingga ada tanpa sekutu atau penolong. Hal ini bia dibuktikan dalam Al-Quran Surat Al-Hasyr ayat 24
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Iman kepada Rububiyah-Nya Allah bisa rusak apabila hambanya mengakui ada dua pihak yang mengurus dan mengatur alam semesta ataupun mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Raja Fir’aun yang mengaku sebagai tuhan pada zaman Nabi Musa As.
Beriman kepada uluhiyahnya Allah SWT.
Beiman kepada Uluhiyah-Nya adalah meyakini atau mengi’tikadkan dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT. Adalah Dzat yang berhak disembah dan yang menerima peribadatan seluruh makhluk di alam semesta. Hal ini dapat dibuktikan dalam QS. Ali Imran ayat 2 dan QS. Al-Ikhlas ayat 1
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.”
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد
“Katakanlah: ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa’.”
Singkatnya, keyakinan tentang Allah sebagai Tuhan satu-satunya baik Dzat-Nya maupun sifat dan perbuatan-Nya. Karena Dzat Allah tidak tersusun dari elemen-elemen yang umumnya dipahami oleh makhluk-Nya dan perbuatan-Nya pun tidak seperti hamba-Nya baik malaikat, jin, maupun manusia
Beriman kepada Asma' dan sifat-Nya (Tauhid Asma’ wa shifat)
Menurut Al Fauzan menyatakan bahwa ketetapan Tauhid Asma’ wa Shifat terdiri atas beberapa dasar :
Al-Quran dan Sunnah menetapkan adanya asma’ wa shifat dan perintah berdoa dengan menyebut asma’-Nya. Dan mengingkari asma’ wa shifat berarti sama saja mengingkari ketetapan Al-Quran dan Sunnah.
Asma’ wa shifat ditetapkan tanpa tasbih (penyerupaan) antara asma’ dan shifat Allah SWT dengan asma’ dan sifat makhluk-Nya.
Dzat yang tidak memiliki asma’ wa shifat kesempurnaan maka tidak berhak disembah dan diibadahi oleh seluruh makhluk.
Asma’ wa shifat Allah SWT digunakan sebagai pengenal dirinya dengan hamba-Nya.
Asma’ wa shifat Allah SWT tidak menunjukkan Allah SWT berbilang tetapi menunjukkan bahwa Allah SWT satu dengan asma’ dan sifat yang banyak
Sehubungan dengan al-asma’ wa shifat ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan secara lebih khusus:
Janganlah memberi nama Allah SWT dengan nama nama yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Jangan menyamakan(tamsil), atau memiripkan (tasyibah) dengan makhluk manapun. Jika terjadi persamaan nama dan sifat antara Allah SWT dengan makhlukNya, misalnya Alah Maha Mendengar, manusia juga berbicara, dan lain sebagainya, maka persamaan tersebut hanyalah persamaan nama (ismun), bukan persamaan hakiki (musamma).
Meng’imani al-asma dan shifat bagi Allah SWT harus apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakan begaimana (kaifiyat). Pertanyaan pertanyaan seperti ini hanya akan menghabiskan waktu saja karena selain tidak bisa dijawab karena itu masalah ghaib juga tidak ada gunanya.
Dalam satu hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim disebutkan Allah SWT mempunyai 99 nama. Tetapi hadist tersebut bukan membatasi nama-nama Allah SWT hanya 99 saja, karena masih ada nama-nama yang lain yang belum disebutkan dalam 99 nama tersebut.
Disamping istilah Asmaul husna ada pula istilah Ismu Al A’dzom yaitu nama nama Allah yang dirangkai didalam do’a.
Menurut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari sifat dan Dzat Allah itu melekat dalam diri-Nya. walaupun sifat-sifat itu tidak dapat dikatakan identik dengan dzat Allah sebab hal itu akan dapat diartikan bahwa sifat-sifat itu ada sama dengan Allah. Padahal tidak, sebagaimana sifat-sifat Allah termaktub dalam al Asma’ Al-Husna.
Adapun sifat Allah itu terbagi dalam beberapa bagian, yaitu sifat wajib bagi Allah (sifat yang pasti dimiliki oleh Allah), Sifat mustahil Allah (sifat yang mustahil dimiliki oleh-Nya), dan sifat jaiz Allah (sifat yang mungkin bagi Allah),berikut adalah pembagiannya:
Sifat wajib bagi Allah
Sifat yang wajib bagi Allah adalah sifat yang wajib ada pada Allah SWT dan sifat itu pasti dimiliki oleh Allah SWT dan tidak mungkin tidak ada. Sifat yang wajib pada Allah ada 20 yaitu:
Wujud artinya ada
Qidam artinya sedia
Baqa artinya kekal
Mukhalafatuhu lilhawadisi artinya berbeda dengan ciptaanya
Qiyamuhu binafsihi artinya berdiri dengan sendirinya
Wahdaniyah artinya esa
Qudrah artinya kuasa
Iradah artinya berkehendak
Ilmu artinya hengetahui
Hayyah artinya hidup
Sama’ artinya mendengar
Bashar artinya melihat
Kalam artinya berkat-kata
Qadiron artinya yang kuasa
Muridan artinya yang berkehendak
‘Aliman artinya yang mengetahui
Hayyan artinya yang hidup
Sami’an artinya yang mendengar
Basiron artinya yang melihat
Mutakalliman artinya yang berkata-kata.
Sifat mustahil bagi Allah
Sifat yang mustahil bagi Allah adalah sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat-sifat mustahil pada Allah itu adalah kebalikan dari sifat-sifat yang wajib pada Allah. Sifat yang mustahil pada Allah berjumlah 20 yaitu:
Adam artinya tidak ada
Qudus artinya baru
Fana’ artinya rusak
Mumatsaluhu lilhawadist artinya sama dengan ciptaanNya
Ihtiyaju lighairihi membutuhkan yang lain
Ta’addud artinya berbilang
Ajzun artinya lemah
Karahah artinya terpaksa
Jahlun artinya bodoh
Mautun artinya mati
Summun artinya tuli
Umyun artinya buta
Bukmun artinya bisu
Ajizan artinya maha selalu lemah lawan dari qodiron
Karihan artinya maha selalu terpaksa, lawan dari muridan
Jahilan artinya maha selalu bodoh
Mayyitan artinya maha selalu mati
Ashomm artinya maha selalu tuli
A’ma artinya maha selalu buta
Abkam artinya maha selalu bisu
Sifat jaiz bagi Allah
Sifat yang jaiz bagi Allah adalah sifat yang mungkin bagi Allah untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Artinya Allah berbuat sesuatu tidak ada yang menyuruh dan tidak ada yang melarang-Nya. Sifat yang jaiz bagi Allah hanya satu yaitu “Fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu” artinya berbuat sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya.
3. Implikasi dan cara meningkatkan iman kepada Alloh SWT dalam kehidupan.
Implikasi iman kepada Alloh SWT ada 7 yaitu:
Memberi wawasan yang luas kepada manusia sejalan dengan luasnya kekuasaan Alloh SWT yang tidak terbatas.
Memberi keyakinan diri sendiri bahwa segala kekuatan dan keperkasaan yang ada di dunia ini adalah milik Alloh SWT semata, sehingga dia tidak akan bergantung atau meminta pertolongan kepada alam atau benda-benda lain.
Menimbulkan sikap rendah hati atau tawadhu’ yaitu perasaan kecil di hadapan Alloh.
Menimbulkan rasa optimis dan ketenangan kalbu sebab iman membekali manusia dengan kekayaan berupa kekuatan hati dan ketentraman jiwa yang tidak putus-putusnya mengalir.
Memiliki sifat sabar dan tawakal.
Memunculkan sifat qona’ah yaitu menerima apa adanya dan merasa cukup, terhindar dari sifat rakus, tamak, iri dansifat tercela lainnya.
Menumbuhkan kesadaran diri untuk senantiasa memperbaiki moral dan membangun perbuatan mereka diatas asas rasa takut kepada Alloh SWT.
Lemahnya iman dapat di tandai dengan tidak mengamalkan ilmu yang di miliki, tidak mau mengajak sesamanya kepada kebaikan ataupun tidak melarang sesamanya dalam hal kemungkaran, mengharapkan ampunan tanpa adanya usaha memohon ampun, lebih mementingkan rizkinya daripada rabbnya, lebih takut kepada mahkluk daripada rabbnya. Sebagai seorang hamba yang beriman hendaklah selalu melaksanakan segala perintah dan segala larangannya sebagai bukti keimanan hamba kepada rabbnya di samping itu orang mukmin wajib berusaha menguatkan keimanannya pada allah SWT dengan menambah tiga hal, yaitu :
Memperhatikan dengan pendengarannya kepada ayat-ayat dan khobar-khobar yang menyebut janji dan ancaman. Juga terhadap ayat-ayat atau khabar-khabar tentang perkara akhirat, cerita-cerita para nabi dan sesuatu yang dapat menguatkannya, berupa mukjizat dan siksaan-siksaan yang dapat menyadarkan orang-orang yang keras kepala kepada para nabi, dan sesuatu yang As-Salaf Al-Shaleh, seperti berzuhud kepada dunia dan cinta pada akhirat dan lain sebagainya dari dalil-dalil sima’i.
Melihat dengan ‘ainul bashirah (mata hati) dan beristidlal (berargumen dengan dalil) kepada kerajaan-kerajaan yang ada di langit dan di bumi dan segala isinya berupa tanda-tanda yang mengagumkan dan keindahan-keindahan yang di ciptakan allah SWT.
Istiqomah dalam mengerjakan amal-amal shaleh dan menjaga dari terjerumusnya maksiat dan kejahatan-kejahatan. Karena sesungguhnya iman itu perkataan dan perbuatan, bisa bertambah karena mengerjakan kebaikan dan bisa berkurang karena mengerjakan kemaksiaatan pada allah SWT.
Yang tertulis di atas dapat meningkatkan keyakinan kepada allah SWT. sebagai bentuk orang mukmin yang hendak meningkatkan keimanannya.
PENUTUP
KESIMPULAN
Iman kepada Allah SWT adalah kewajiban seorang muslim untuk meyakini sepenuh hati adanya Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang pantas disembah dan tidak boleh di sekutukan karena Alloh adalah dzat yang maha sempurna, sang pencipta alam semesta ini, dan tentunya bisa mengamalkan apa yang di perintahkan Allah SWT serta meninggalkan larangannya agar bisa memetik memetik manfaat dari iman tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Haddad, Sayyid Abdulloh. Jalan Para Nabi Menuju Surga. Hikmah.Jakarta: 2003.
Arifin, Zainul. Ilmu Tauhid. Karya Abadi Jaya. Semarang: 2015.
Ash Shiddieqy, Hasby. Ilmu Tauhid/Kalam. Bulan Bintang. Jakarta: 1973.
Qordhowi, Yusuf.Merasakan Kehadiran Tuhan.Mitra Pustaka.Yogyakarta: 2005.
Sabiq, Sayyid. Aqidah Islam. Diponegoro. Bandung: 1986.
Thahir, Abdul Mu’in Taib,.Ilmu Kalam. Bumirestu. Jakarta:1964.
PENDAHULUAN
Latar belakang
Dalam ilmu tauhid memiliki hal-hal yang bersangkutan seperti rukun iman, rukun ini disepakati oleh para ulama sebagai ketentuan yang harus diyakini setiap muslim, rukun iman sendiri dibagi menjadi enam yaitu: iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab Allah,Nabi-nabi Allah, hari kiamat ,dan qodho-qodar Allah.
Iman kepada Allah adalah hal penting yang harus ditancapkan dalam hati seorang muslim tanpa ada paksaan dari pihak manapun, pada umumnya iman di pahami sebagai keyakinan seseorang terhadap sebuah agama ang dibawa oleh utusan Allah SWT.
Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan hal yang terkait dengan iman kepada Allah SWT dan implikasinya dalam kehidupan.
Rumusan masalah
Apa pengertian iman kepada Allah SWT ?
Bagaimana ruang lingkup beriman kepada Allah SWT ?
Bagaimana implikasinya dalam kehidupan dan cara meningkatkan iman kepada Allah SWT ?
Tujuan
Untuk mengetahui pengertian iman kepada Allah SWT ?
Untuk mengetahui ruang lingkup beriman kepada Allah SWT ?
Untuk mengetahui implikasinya dalam kehidupan dan cara meningkatkan iman kepada Allah SWT ?
PEMBAHASAN
1. Pengertian Iman
Kata Iman berasal dari bahasa arab yaitu “امن “ yang artinya aman,damai,tentram.Dalam pengertian lain adalah : Keyakinan atau kepercayaan.
Iman kepada Allah berarti kita wajib mempercayai ke-Esaan dzat, sifat dan af’al-Nya. artinya hanya Allah yang patut dan berhak disembah karena yang menciptakan alam ini. Dialah yang bersifat dengan segala kesempurnaan-Nya, berbeda jauh dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk. Segala apa yang diciptakan Allah, diciptakan-Nya dengan sendiri-Nya, tidak dengan bantuan siapapun. Demikian pula hasil ciptaan Allah itu tak seorang pun dapat meniru dan menyamai-Nya. Segala ciptaan atau buatan Allah itu mengandung hikmah dan faedah.
Keimanan itu bukanlah semata-mata diucapkan lisan saja atau keyakinan dalam hati semata, tetapi keimanan yang sesungguhnya adalah suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh hati nurani , dari situlah muncul atsar atau bekas dari keimanan tersebut dan direalisasikan dengan perbuatan yang baik.
Iman juga bukan sekedar amal perbuatan yang secara dhohir merupakan ciri khas perbuatan orang-orang beriman. Sebab orang munafik juga mengerjakan ibadah dan berbuat baik walaupun ditujukan bukan untuk menginginkan keridhoan Allah SWT
2. Ruang lingkup beriman kepada Alloh SWT
Beriman kepada Alloh SWT mengandung empat perkara:
Beriman kepada adanya Alloh SWT
Alloh SWT adalah wajibul wujud dan tak ada batasan bagi kesempurnaan-Nya. Karenanya tidaklah sanggup manusia mengetahui dzat-Nya. Mengetahui hakikat Dzat-Nya adalah mustahil, karena dzat Alloh SWT tidak tersusun dari beberapa unsur dan Allah tidak memiliki batasan berbeda dengan makhlukNya yang disudah ditakdirkan memiliki batasan.
Oleh karena mengetahui hakikat Allah, mengetahui hakikat dzat-Nya adalah suatu hal yang tidak mungkin (mustahil) dicapai akal manusia maka menjadi percumalah membahas yang demikian itu karena usaha itu merupakan usaha yang sia-sia. Oleh karena itu Islam agama yang mempunyai aqidah yang benar dan amal yang membuahkan hasil, melarang kita memikirkan dzat Allah atau bagaimana dzatnya. Nabi saw. bersabda,
” تَفَكَّرُوا فِي خَلْقِ اللَّهِ ، وَلا تَفَكَّرُوا فِي اللَّهِ“ (رواه أبو نعيم عن ابن عباس)
“Fikirkanlah tentang keadaan makhluk Allah dan janganlah kamu memikirkan tentang Dzat-Nya yang menyebabkan kamu binasa”
Sama dengan memikir-mikirkan Dzat Allah, memikirkan urusan-urusan yang berpautan dengan sifat-sifat-Nya. Kita cukup dalam mengetahuinya, meyakini bahwa Allah bersifat dengan sifat-sifatNya itu dan bahwa sifat Allah adalah sifat yang paling sempurna, sesuai dengan martabat Allah dalam wujud ini. Yang selain daripada itu kita serahkan kepada pengetahuan Allah sendiri.
Al-Quran datang mengarahkan pikiran kita untuk memperhatikan alam atau memperhatikan apa yang Allah ciptakan agar tembuslah ilmu kita kepada mema’rifati penciptanya. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang mengharuskan kita memperhatikan keadaan wujud, khasiatnya, sifatnya, tata aturannya, yang kesemuanya itu menunjukkan adanya pencipta yang sangat hakim (melaksanakan sesuatu dan membuat sesuatu). Tak ada beserta-Nya sesuatu wujud pencipta yang semartabat dengan-Nya. Kalau ada tentulah masing-masingnya mengetahui makhluk dan tentulah yang seorang mengalahkan yang lain dan rusaklah nidham alam ini.
Beriman kepada Rubbubiyahnya Allah SWT.
Beriman kepada rubbubiyahnya Allah SWT. berarti mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya bahwa Allah sendiri yang menciptakan, memiliki, memerintah, dan mengatur alam semesta dari sebelum ada hingga ada tanpa sekutu atau penolong. Hal ini bia dibuktikan dalam Al-Quran Surat Al-Hasyr ayat 24
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Iman kepada Rububiyah-Nya Allah bisa rusak apabila hambanya mengakui ada dua pihak yang mengurus dan mengatur alam semesta ataupun mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Raja Fir’aun yang mengaku sebagai tuhan pada zaman Nabi Musa As.
Beriman kepada uluhiyahnya Allah SWT.
Beiman kepada Uluhiyah-Nya adalah meyakini atau mengi’tikadkan dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT. Adalah Dzat yang berhak disembah dan yang menerima peribadatan seluruh makhluk di alam semesta. Hal ini dapat dibuktikan dalam QS. Ali Imran ayat 2 dan QS. Al-Ikhlas ayat 1
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.”
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد
“Katakanlah: ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa’.”
Singkatnya, keyakinan tentang Allah sebagai Tuhan satu-satunya baik Dzat-Nya maupun sifat dan perbuatan-Nya. Karena Dzat Allah tidak tersusun dari elemen-elemen yang umumnya dipahami oleh makhluk-Nya dan perbuatan-Nya pun tidak seperti hamba-Nya baik malaikat, jin, maupun manusia
Beriman kepada Asma' dan sifat-Nya (Tauhid Asma’ wa shifat)
Menurut Al Fauzan menyatakan bahwa ketetapan Tauhid Asma’ wa Shifat terdiri atas beberapa dasar :
Al-Quran dan Sunnah menetapkan adanya asma’ wa shifat dan perintah berdoa dengan menyebut asma’-Nya. Dan mengingkari asma’ wa shifat berarti sama saja mengingkari ketetapan Al-Quran dan Sunnah.
Asma’ wa shifat ditetapkan tanpa tasbih (penyerupaan) antara asma’ dan shifat Allah SWT dengan asma’ dan sifat makhluk-Nya.
Dzat yang tidak memiliki asma’ wa shifat kesempurnaan maka tidak berhak disembah dan diibadahi oleh seluruh makhluk.
Asma’ wa shifat Allah SWT digunakan sebagai pengenal dirinya dengan hamba-Nya.
Asma’ wa shifat Allah SWT tidak menunjukkan Allah SWT berbilang tetapi menunjukkan bahwa Allah SWT satu dengan asma’ dan sifat yang banyak
Sehubungan dengan al-asma’ wa shifat ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan secara lebih khusus:
Janganlah memberi nama Allah SWT dengan nama nama yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Jangan menyamakan(tamsil), atau memiripkan (tasyibah) dengan makhluk manapun. Jika terjadi persamaan nama dan sifat antara Allah SWT dengan makhlukNya, misalnya Alah Maha Mendengar, manusia juga berbicara, dan lain sebagainya, maka persamaan tersebut hanyalah persamaan nama (ismun), bukan persamaan hakiki (musamma).
Meng’imani al-asma dan shifat bagi Allah SWT harus apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakan begaimana (kaifiyat). Pertanyaan pertanyaan seperti ini hanya akan menghabiskan waktu saja karena selain tidak bisa dijawab karena itu masalah ghaib juga tidak ada gunanya.
Dalam satu hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim disebutkan Allah SWT mempunyai 99 nama. Tetapi hadist tersebut bukan membatasi nama-nama Allah SWT hanya 99 saja, karena masih ada nama-nama yang lain yang belum disebutkan dalam 99 nama tersebut.
Disamping istilah Asmaul husna ada pula istilah Ismu Al A’dzom yaitu nama nama Allah yang dirangkai didalam do’a.
Menurut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari sifat dan Dzat Allah itu melekat dalam diri-Nya. walaupun sifat-sifat itu tidak dapat dikatakan identik dengan dzat Allah sebab hal itu akan dapat diartikan bahwa sifat-sifat itu ada sama dengan Allah. Padahal tidak, sebagaimana sifat-sifat Allah termaktub dalam al Asma’ Al-Husna.
Adapun sifat Allah itu terbagi dalam beberapa bagian, yaitu sifat wajib bagi Allah (sifat yang pasti dimiliki oleh Allah), Sifat mustahil Allah (sifat yang mustahil dimiliki oleh-Nya), dan sifat jaiz Allah (sifat yang mungkin bagi Allah),berikut adalah pembagiannya:
Sifat wajib bagi Allah
Sifat yang wajib bagi Allah adalah sifat yang wajib ada pada Allah SWT dan sifat itu pasti dimiliki oleh Allah SWT dan tidak mungkin tidak ada. Sifat yang wajib pada Allah ada 20 yaitu:
Wujud artinya ada
Qidam artinya sedia
Baqa artinya kekal
Mukhalafatuhu lilhawadisi artinya berbeda dengan ciptaanya
Qiyamuhu binafsihi artinya berdiri dengan sendirinya
Wahdaniyah artinya esa
Qudrah artinya kuasa
Iradah artinya berkehendak
Ilmu artinya hengetahui
Hayyah artinya hidup
Sama’ artinya mendengar
Bashar artinya melihat
Kalam artinya berkat-kata
Qadiron artinya yang kuasa
Muridan artinya yang berkehendak
‘Aliman artinya yang mengetahui
Hayyan artinya yang hidup
Sami’an artinya yang mendengar
Basiron artinya yang melihat
Mutakalliman artinya yang berkata-kata.
Sifat mustahil bagi Allah
Sifat yang mustahil bagi Allah adalah sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat-sifat mustahil pada Allah itu adalah kebalikan dari sifat-sifat yang wajib pada Allah. Sifat yang mustahil pada Allah berjumlah 20 yaitu:
Adam artinya tidak ada
Qudus artinya baru
Fana’ artinya rusak
Mumatsaluhu lilhawadist artinya sama dengan ciptaanNya
Ihtiyaju lighairihi membutuhkan yang lain
Ta’addud artinya berbilang
Ajzun artinya lemah
Karahah artinya terpaksa
Jahlun artinya bodoh
Mautun artinya mati
Summun artinya tuli
Umyun artinya buta
Bukmun artinya bisu
Ajizan artinya maha selalu lemah lawan dari qodiron
Karihan artinya maha selalu terpaksa, lawan dari muridan
Jahilan artinya maha selalu bodoh
Mayyitan artinya maha selalu mati
Ashomm artinya maha selalu tuli
A’ma artinya maha selalu buta
Abkam artinya maha selalu bisu
Sifat jaiz bagi Allah
Sifat yang jaiz bagi Allah adalah sifat yang mungkin bagi Allah untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Artinya Allah berbuat sesuatu tidak ada yang menyuruh dan tidak ada yang melarang-Nya. Sifat yang jaiz bagi Allah hanya satu yaitu “Fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu” artinya berbuat sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya.
3. Implikasi dan cara meningkatkan iman kepada Alloh SWT dalam kehidupan.
Implikasi iman kepada Alloh SWT ada 7 yaitu:
Memberi wawasan yang luas kepada manusia sejalan dengan luasnya kekuasaan Alloh SWT yang tidak terbatas.
Memberi keyakinan diri sendiri bahwa segala kekuatan dan keperkasaan yang ada di dunia ini adalah milik Alloh SWT semata, sehingga dia tidak akan bergantung atau meminta pertolongan kepada alam atau benda-benda lain.
Menimbulkan sikap rendah hati atau tawadhu’ yaitu perasaan kecil di hadapan Alloh.
Menimbulkan rasa optimis dan ketenangan kalbu sebab iman membekali manusia dengan kekayaan berupa kekuatan hati dan ketentraman jiwa yang tidak putus-putusnya mengalir.
Memiliki sifat sabar dan tawakal.
Memunculkan sifat qona’ah yaitu menerima apa adanya dan merasa cukup, terhindar dari sifat rakus, tamak, iri dansifat tercela lainnya.
Menumbuhkan kesadaran diri untuk senantiasa memperbaiki moral dan membangun perbuatan mereka diatas asas rasa takut kepada Alloh SWT.
Lemahnya iman dapat di tandai dengan tidak mengamalkan ilmu yang di miliki, tidak mau mengajak sesamanya kepada kebaikan ataupun tidak melarang sesamanya dalam hal kemungkaran, mengharapkan ampunan tanpa adanya usaha memohon ampun, lebih mementingkan rizkinya daripada rabbnya, lebih takut kepada mahkluk daripada rabbnya. Sebagai seorang hamba yang beriman hendaklah selalu melaksanakan segala perintah dan segala larangannya sebagai bukti keimanan hamba kepada rabbnya di samping itu orang mukmin wajib berusaha menguatkan keimanannya pada allah SWT dengan menambah tiga hal, yaitu :
Memperhatikan dengan pendengarannya kepada ayat-ayat dan khobar-khobar yang menyebut janji dan ancaman. Juga terhadap ayat-ayat atau khabar-khabar tentang perkara akhirat, cerita-cerita para nabi dan sesuatu yang dapat menguatkannya, berupa mukjizat dan siksaan-siksaan yang dapat menyadarkan orang-orang yang keras kepala kepada para nabi, dan sesuatu yang As-Salaf Al-Shaleh, seperti berzuhud kepada dunia dan cinta pada akhirat dan lain sebagainya dari dalil-dalil sima’i.
Melihat dengan ‘ainul bashirah (mata hati) dan beristidlal (berargumen dengan dalil) kepada kerajaan-kerajaan yang ada di langit dan di bumi dan segala isinya berupa tanda-tanda yang mengagumkan dan keindahan-keindahan yang di ciptakan allah SWT.
Istiqomah dalam mengerjakan amal-amal shaleh dan menjaga dari terjerumusnya maksiat dan kejahatan-kejahatan. Karena sesungguhnya iman itu perkataan dan perbuatan, bisa bertambah karena mengerjakan kebaikan dan bisa berkurang karena mengerjakan kemaksiaatan pada allah SWT.
Yang tertulis di atas dapat meningkatkan keyakinan kepada allah SWT. sebagai bentuk orang mukmin yang hendak meningkatkan keimanannya.
PENUTUP
KESIMPULAN
Iman kepada Allah SWT adalah kewajiban seorang muslim untuk meyakini sepenuh hati adanya Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang pantas disembah dan tidak boleh di sekutukan karena Alloh adalah dzat yang maha sempurna, sang pencipta alam semesta ini, dan tentunya bisa mengamalkan apa yang di perintahkan Allah SWT serta meninggalkan larangannya agar bisa memetik memetik manfaat dari iman tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Haddad, Sayyid Abdulloh. Jalan Para Nabi Menuju Surga. Hikmah.Jakarta: 2003.
Arifin, Zainul. Ilmu Tauhid. Karya Abadi Jaya. Semarang: 2015.
Ash Shiddieqy, Hasby. Ilmu Tauhid/Kalam. Bulan Bintang. Jakarta: 1973.
Qordhowi, Yusuf.Merasakan Kehadiran Tuhan.Mitra Pustaka.Yogyakarta: 2005.
Sabiq, Sayyid. Aqidah Islam. Diponegoro. Bandung: 1986.
Thahir, Abdul Mu’in Taib,.Ilmu Kalam. Bumirestu. Jakarta:1964.
Comments
Post a Comment